PEMBATAL PUASA RAMADHAN DAN KONSKWENSINYA

Oleh : kyai Sumarsam
Sumber gambar : merdeka.com

(Bagian Ke Lima)
==========
1. Batalnya Rukun atau Syarat Puasa

Puasa yang sedang dikerjakan akan batal apabila seseorang kehilangan salah satu rukun puasa, atau salah satu dari syarat sahnya puasa.

a. Niat

1) Berubahnya Niat

Para ulama sepakat bahwa seseorang yang berpuasa lalu merubah niatnya untuk tidak berpuasa, maka puasanya telah batal. Sebab niat yang melandasi puasa itu harus terpasang sepanjang perjalanan puasa, sejak dari terbit fajar hingga matahari terbenam.

2) Membatalkan Puasa Lalu Meniatkan Kembali, Batalkah Puasanya?

Namun para ulama berbeda pendapat apabila seorang yang sedang puasa sempat berniat untuk membatalkan puasa, namun belum sempat makan minum atau melakukan hal-hal yang sekiranya membatalkan puasa, lantas berniat kembali untuk berpuasa, apakah puasanya menjadi batal atau tidak.

Mazhab Pertama: Tetap Sah.

Jumhur ulama (Hanafi, Maliki, Syafi’i), berpendapat bahwa orang yang sempat membatalkan niat puasa, lalu melanjutkannya, puasanya tetap di anggap sah. Tentu dengan catatan tidak melakukan hal-hal yang disepakati dapat membatalkan puasa seperti makan dan minum.

Mazhab Kedua: Batal.

Sedangkan Mazhab Hanbali dan Mazhab Zhahiri berpendapat bahwa seorang yang berpuasa sempat berniat untuk membatalkan puasanya, maka meski dia belum sempat makan atau minum, namun puasanya otomatis batal dengan sendirinya.

b. Murtad

Di antara syarat sah puasa adalah islamnya orang yang berpuasa. Kalau ada orang Islam berpuasa, lalu gugur keislamannya atau keluar dari agama Islam (murtad), maka otomatis puasanya pun batal. Seandainya setelah murtad, pada hari itu juga dia kembali lagi masuk Islam, puasanya tetaplah batal, dan wajib mengqadha puasanya hari itu meski belum sempat makan atau minum.

Dasar dari ketentuan ini adalah fiman Allah swt:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (الزمر: 65)

“Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

c. Mendapat Haid atau Nifas

Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita yang sedang berpuasa lalu tiba-tiba mendapat haid atau nifas, maka otomatis puasanya batal. Meski kejadian itu menjelang terbenamnya matahari. Dasarnya adalah hadits berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا» (متفق عليه)

Dari Abu Said ra: Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukankah bila wanita mendapat haid, dia tidak boleh shalat dan puasa?. Inilah maksud setengah agamanya.” (HR. Bukhari Muslim)

d. Gila dan Pingsan

Para ulama sepakat bahwa seorang yang dalam kondisi gila atau pingsan secara penuh pada waktu wajibnya berpuasa (antara terbit fajar hingga terbenam matahari), tidaklah wajib berpuasa dan tidak wajib pula untuk diqadha’ pada hari lainnya jika telah sadar dan sembuh dari penyakit gilanya.

Namun, para ulama berbeda pendapat jika pada malam hari telah berniat puasa, lalu saat berpuasa mengalami pingsan atau penyakit gila, apakah hal tersebut membuat puasanya batal dan wajib untuk diqadha’ pada hari lainnya saat sembuh?

Mazhab Pertama: Puasa Batal.

Sebagian ulama berpendapat bahwa puasanya otomatis batal, meskipun pada hari ia berpuasa, lantas menjadi sadar atau sembuh dari gilanya. Hal ini mereka dasarkan pada qiyas batalnya shalat karena sebab hilang akal atau mendapat haid.

Mazhab Kedua: Puasa Tidak Batal.

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa puasanya tidak batal. Dimana mereka mendasarkan pendapatnya kepada qiyas akan tetap sahnya perwalian atas mereka dalam masalah harta. Dalam arti, mereka tetap diwajibkan untuk menunaikan zakat jika hartanya telah mencapai nishob, dan yang menunaikannya adalah wali mereka.

2. Makan dan Minum

Para ulama sepakat bahwa makan dan minum termasuk hal-hal yang membatalkan puasa, dengan dasar firman Allah swt:

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ (البقرة: 187)

“...Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...” (QS. Al-Baqarah: 187)

Ayat ini menggambarkan tentang apa saja yang boleh dilakukan pada malam hari sebelum terbitnya fajar, yaitu makan dan minum. Sehingga pengertian terbaliknya (mafhum) adalah makan dan minum merupakan hal yang terlarang untuk dilakukan ketika sudah masuk waktu fajar.

Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa, makan dan minum yang dapat membatalkan puasa adalah jika dilakukan secara sengaja, dan bukan karena lupa.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ» (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah ra: Nabi ﷺ bersabda: Siapa saja yang makan karena lupa, padahal ia sedang berpuasa, maka hendanya ia melanjutkan puasanya, karenanya sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum. (HR. Bukhari Muslim)

Hanya saja, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait standar makan dan minum yang dapat membatalkan puasa, beserta konsekuensi yang harus dilakukan.

==========

Bagian ke empat dapat di lihat di sini :



Posting Komentar

0 Komentar